Sebagai tarian tradisional, Tari Lariangi telah ada sejak Tahun 1634. Tepatnya, pada masa kesultanan Buton. Wakatobi dulunya wilayah Kerajaan Buton yang kemudian berubah menjadi Kesultanan. Kala itu, yang menjadi raja di Buton adalah Wa Kaka.
Dulunya, Lariangi dimainkan di istana raja yang berfungsi sebagai penerangan. Karena itu, Lariangi diwujudkan dalam gerakan dan nyanyian. Mereka bernyanyi dengan menggunakan bahasa Kaledupa kuno. Saat ini, bahasa ini sudah tidak dipergunakan dalam percakapan sehari-hari.
Lariangi terdiri dari dua suku kata. Lari dan Angi. Lari berarti menghias atau mengukir. Angi berarti orang-orang yang berhias dengan berbabagai ornamen untuk menyampaikan informasi, dengan maksud untuk memberikan nasehat. Bisa juga menjadi hiburan dengan gerakan tari dan nyanyian.
Sebagai perwujudan dari Lari adalah pakaian para penari yang terdiri dari kain, manik-manik, hiasan sanggul, logam berukir untuk gelang, kalung, dan hiasan sarung. Misalnya saja, Pada bagian kepala disebut Panto dan Pintoru melambangkan derajat bangsawan, Hepupu/Konde melambangkan Kerajaan Buton, Bunga Konde melambangkan Pagar Beton Keraton, dan Toboy atas bawah kamba melambangkan prajurit-prajurit penjaga pasar benteng keraton.
Selain itu, ada yang namanya Hebindu atau Sangi-sangi yang melambangkan Fatimah (istri Nabi Muhammad SAW), kalung melambangkan matahari dan bulan, Naga melambangkan penjaga benteng keraton, Sekori dan Gelang bersusun melambangkan derajat bangsawan, Kombo tipis melambangkan gadis perawan atau wanita cantik yang sudah menikah, pelapis Kombo berwarna jingga melambangkan sore hari, Punto/Wuray Nibelo dasar hitam melambangkan malam hari, dan manik-manik putih melambangkan cahaya alam.
Sedangkan Laka/Sarung merah melambangkan Ratu Wa Kaka karena saat dinobatkan menjadi Raja Buton pertama menggunakan sarung merah, Kipas Lariangi melambangkan kesejukan di dalam istana kerajaan, serta sapu tangan Lariangi melambangkan lap keringat Raja Buton.
Dalam pagelaran Lariangi, sebenarnya, model nyibing ini mirip dengan tari tayub di Jawa. Para penari perempuan memberikan selendang kepada para tamu pria. Mereka wajib menari bersama dengan para perempuan ini. Tentu saja, mereka juga memberikan uang saweran kepada para penari. Nyibing ini sangat ditunggu-tunggu oleh para lelaki. Lelaki akan sangat malu apabila diberi seledang tetap tidak memberikan uang saweran.
Tari ini bedurasi 10 menit. Sepuluh orang perempuan cantik menari dan bernyanyi. Tarian didominasi oleh gerakan duduk dan melingkar dengan mengibaskan lenso atau kipas.
Klimaks tarian ini ada di akhir. Yaitu gerakan yang dinamakan dengan nyibing. Nyibing dilakukan oleh dua orang penari lelaki. Mereka menari mengelilingi dua orang penari perempuan. Ini mengandung maksud, para lelaki, dalam kondisi apapun harus tetap melindungi para perempuan.
Gerakan tari Lariangi, sebelum dan sesudah selalu diiringi dengan perkataan le..le..., maksudnya, tari Lariangi siap ditampilkan, begitu pun sebaliknya. Dia menyebutkan, tari Lariangi ini ditutup dengan Pajogi yang diapit dua orang laki-laki mengibing, setelah itu diisi dengan cendramata apa saja, lalu disimpan di atas talang penghormatan oleh para penari.
Tari Lariangi merupakan satu dari beberapa tarian yang diusulkan dalam memorandum of understanding (MOU) atau nota kesepahaman yang dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk mematenkan seni budaya yang ada di Nusantara ke UNESCO sebagai salah satu badan PBB yang menangani pendidikan dan keragaman budaya dan tradisi masyarakat yang ada di Wakatobi, serta beberapa situs sejarah dan tarian daerah, di antaranya, benteng Watima di Binongko, Benteng Patua di Tomia, dan Benteng Lia di Wangi-Wangi Selatan. Untuk tarian, di antaranya, tari Eja-eja dan Kuiramba dari Tomia, tari Badanda dari Binongko, tari Lariangi dari Kaledupa, dan tari Kenta-kenta dari Wangi-Wangi. Seni budaya tersebut merupakan bagian dari tradisi lisan yang perlu dilestarikan sebagai salah satu kekayaan daerah.
Membicarakan Lariangi kurang lengkap tanpa membicarakan Pulau Kaledupa. Kaledupa menjadi satu dari 142 gugusan pulau di Wakatobi. Kaledupa, dulunya bernama Kahedupa. Pulau ini berubah nama ketika jaman Orde Baru (Orba). Nama Kahedupa berarti kehidupan. Sangat sesuai dengan kondisi pulau ini. Kalau dibandingkan dengan Pulau Wangi-Wangi, tanah pulau ini sangat subur. Selain ubi kayu, nampak juga tanaman yang membutuhnya banyak air seperti kelapa dan pisang. Mereka tumbuh di kaki-kaki bukit. Selain itu, nampak tanaman-tanaman kayu lainnya. Banyaknya vegetasi menjadikan pulau ini lebih sejuk apabila dibandingkan dengan Pulau Wangi-Wangi.
Berbagai keterbatasan, tidak mengurangi keindahan pulau ini untuk dikunjungi. Selain pantai dengan pasir putihnya, ikan-ikan bakar nan segar, juga tarian Lariangi.
sumber :
- Hariatni Novitasari – Surabaya (balytra.com)
- Kompas.com