Memaknai Tahun Baru Hijriah
Dalam Ath-Thabaqat Al-Laits bin Sa’ad mengutip sebuah riwayat dari Ibunda Aisyah r.a. adalah Rasulullah saw. bersuka-cita saat jumlah pengikutnya mencapai tujuh puluh orang karena itu artinya Allah telah membuatkan “tameng pertahanan”. Bukan sembarangan mereka terdiri dari kaum profesional dibidang peperangan, persenjataan dan pembelaan. Toh permusuhan dan penyiksaan kaum musyrik bertambah gencar dan berat. Bahkan tingkat siksaan dan celaan yang dirasakan sahabat belum pernah dialami sebelumnya.
Mereka pun mengadu kepada Rasulullah saw. dan meminta izin utk berhijrah. Pengaduan dan permintaan itu dijawab oleh Rasulullah saw. “Sesungguhnya aku pun telah diberi tahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Barangsiapa yang ingin keluar-hijrah- maka hendaklah ia keluar ke Yatsrib.” Para sahabat kemudian hijrah secara bergelombang dan tentu saja dgn sembunyi-sembunyi kecuali Umar bin al-Khattab r.a. Dengan tegas Umar bahkan bersuara lantang “Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya atau istrinya menjadi janda atau anaknya menjadi yatim piatu hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.” Sebuah tantangan yang antiklimaks karena tak satu pun orang kafir Quraisy yang berani menampakkan batang hidungnya.
Tibalah Rasulullah di Yatsrib setelah sebelumnya para sahabatnya lebih dulu sampai. Belia disambut dgn penuh suka cita oleh sahabat Anshar. Yatsrib di kemudian hari diganti namanya menjadi Al-Madinah al-Munawwarah. Peristiwa tersebut oleh Khalifah Umar bin Khaththab r.a. ditandai sebagai awal Kalender Islam berdasarkan perhitungan bulan mengelilingi bumi.
Dalam makna ini, hijrah dibedakan menjadi Hijrah Makaniah dan Hijrah Maknawiah. Hijrah makaniah berarti berpindah secara fisik meninggalkan satu wilayah ke wilayah lain yang lebih baik. Kebanyakan ayat tentang hijrah bermakna makaniah.“Dan siapa yang berhijrah di jalan Allãh, niscaya ia akan dapati di muka bumi ini tempat berhijrah yang banyak dan rezeki yang makmur,” (QS an-Nisã’ [4]:100). “Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allãh, kemudian mereka terbunuh atau mati, sudah tentu Allah akan mengaruniakan kepada mereka limpah kurnia yang baik,” (QS al-Hajj [22]: 58).
Sedangkan hijrah secara maknawiah ditegaskan dalam Firman-Nya, “Dan berkatalah Ibrahim, ‘Sesungguhnya aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana’,” (QS al-Ankabût [29]: 26). “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah,” (QS al-Muddatstsir [74]: 5).
Beberapa bentuk hijrah maknawiah adalah meninggalkan kekufuran menuju keimanan. Meninggalkan syirik menuju tauhid (mengesakan Allãh). Meninggalkan kufur nikmat menjadi pandai bersyukur, dari kehidupan jahiliah ke kehidupan Islami, dari sifat-sifat munafik, plin-plan, jadi istiqamah, amanah. Hijrah juga berarti berpegang kuat kepada nilai kebenaran dan keadilan. Meninggalkan perbuatan, makanan, pakaian haram menjadi hidup halalan thayyiban. Meninggalkan maksiat dengan tobat, kemalasan jadi rajin dan produktif.
Dalam sejarah para rasul juga dekat dgn tradisi hijrah dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas kesetiaan keimanan yang berujung pada menuju yang lebih baik atas ridho Allah. Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah beliau telah melakukan hijrah beberapa kali dari Babilon ke Palestina dari Palestina ke Mesir dari Mesir ke Palestina lagi semua demi risalah suci. Termasuk hijrah beliau dari Palestina menuju Mekah yang dalam perkembangannya menjadi syariat haji. Adalah Ibrahim a.s. yang baru dikaruniai Ismail anak yang selama ini dinanti harus meninggalkan Palestina bersama istrinya Hajar menuju tanah gersang tak bertuan. Di tempat itulah Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya dgn hanya dibekali sekantong makanan dan seteko air. Ibnu Katsir menceritakan dalam tafsirnya Saat Nabi Ibrahim hendak berlalu sang istri menarik tali kekang tunggangannya dan bertanya “Apakah Kanda akan meninggalkanku bersama anakmu di tempat yang tiada tanaman lagi tak bertuan?” Ibrahim a.s. terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan “Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan hal ini.” “Benar” jawab Ibrahim. Hajar menimpali “Jika demikian Allah tidak akan mempersulit kami.” Sungguh sebuah dialog yang menusuk hati merefleksikan keimanan yang amat dalam sebuah ketundukan sekaligus pengorbanan yang menakjubkan. Terpancar sikap tawakal yang begitu tinggi bahwa hanya Allah Yang Maha Menghidupkan Maha Memberi Rezeki Maha Mematikan. Sempurnalah implementasi hijrah pada diri Ibrahim a.s. dan keluarganya baik secaramakani maupun maknawi.
Ibrah dari Hijrah Pelajaran yang nyata dari peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta rumah pekerjaan tanah air dan sanak kadang. Secara lahiriyah umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yang barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yang penuh spekulasi. Toh kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya.
Intinya, hijrah Rasulullah adalah perubahan dari yang (kurang) baik menjadi lebih baik lagi, semata-mata karena setiap kebaikan datangnya pasti dari Allah untuk meraih rida Allah. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berhijrah untuk Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah untuk dunia dan untuk menikahi wanita maka hijrahnya itu untuk apa yang diniatkannya,” (HR Bukhari)
Sumber :
file al_islam.chm-Rahmat Blog