Barangkali tidaklah berlebih-lebihan kalau dikatakan bahwa sebagian besar peristiwa yang dianggap sebagai “pembuat batas” dalam perjalanan sejarah adalah hasil interpretasi tentang dinamika sejarah. Ketika peristiwa itu terjadi terasa biasa saja, tidak ada perubahan apa-apa, tetapi nanti ketika berbagai pengalaman kesejarahan direnungkan maka peristiwa tersebut bisa diperlakukan sebagai awal dari sesuatu yang menentukan. Barulah sekian tahun kemudian pernyataan yang dibacakan di saat penutupan Kongres Pemuda Indonesia kedua, 28 Oktober, 1928 disebut sebagai “Sumpah Pemuda”. Kongres tersebut memutuskan untuk menggabungkan semua organisasi kedaerahan pemuda Indonesia Muda, tetapi keputusan itu “dihiasi” oleh pernyataan yang berwujud formula seperti sumpah. Maka peristiwa itupun dipilih sebagai simbol dari cita-cita perjuangan. Meskipun “Sumpah Pemuda” tidak memperkenalkan sesuatu yang baru dalam pemikiran dan cita-cita politik, tetapi peristiwa ini menyatakan banyak
hal dalam satu helaan nafas. Pertama, peristiwa ini adalah pernyataan akan keharusan kontinuitas dalam perkembangan nasionalisme yang mengatasi ikatan etnis, daerah, agama dan sebagainya. Kedua, seketika kata “Indonesia” disebut secara tegas maka di waktu itu pula tekad ke arah “kemerdekaan bangsa” telah dijadikan sebagai landasan cita-cita. Ketiga, seketika “Sumpah Pemuda” dipatrikan maka “jalan kembali” ke situasi lama secara konseptual dan ideologis telah tertutup rapi. Keempat, ketika “bahasa Indonesia” telah diakui sebagai “bahasa persatuan” bukan saja sistem komunikasi nasional ingin diteguhkan, demokratisasi dalam hubungan sosialpun ditegaskan pula. Bukankah “bahasa Melayu” yang dijadikan bahasa Indonesia itu pada dasarnya hanya menyediakan beberapa kosa kata untuk menunjukkan penghormatan bagi “orang atasan” tetapi tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa. Surat kabar dan berkala yang diperjualbelikan semakin memperlauas pemakaian bahasa ini. Kelima, setelah
“Sumpah Pemuda”—ketika kehadiran sebuah bangsa dirasakan sebagai suatu “realitas”—pencarian tatanan masyarakat, politik, bahkan kebudayaan barupun diperdebatkan dengan intens. Maka dalam kesadaran sejarah “Sumpah Pemuda” dirasakan sebagai konfirmasi dan puncak dari proses yang telah berjalan sekian tahun sebelumnya dan sekaligus adalah pula awal yang otentik dari proses lanjutannya.
DARI HASRAT “KEMAJUAN” KE NASIONALIS INDONESIA
Ketika kehidupan kota dengan penduduk yang relatif bersifat majemuk telah bermula dan di saat kebudayaan cetak mulai mempengaruhi kehidupan secuil penduduk, di saat itu pula perbandingan antara situasi diri dengan komunitas lain terjadi begitu saja. Maka hasrat untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik pun mulai dirasakan.
Pengalaman yang baru saja dilalui ketika ketidakwajaran sosial, politik dan ekonomi dilawan dengan kekerasan, seperti yang dilakukan berbagai corak perlawanan pedesaan, ternyata hanya
menghasilkan kekalahan dan kenangan pahit yang mencekam perasaan. Dalam suasana inilah hasrat akan “kemajuan” —sesuatu situasi yang lebih baik dansemakin terpelajar dari yang kini dijalani—mulai tumbuh.
Pada tahun 1901 sebuah bulanan berbahasa Melayu dengan huruf Latin, Insulinde, diterbitkan di Padang. Boleh dikatakan sejak terbitnya majalah ini hanya mempunyai pesan tunggal, yaitu “kemajuan” dan jalan ke “dunia maju”. Setelah majalah ini berhenti terbit pesan kemajuan dilanjutkan oleh majalah bergambar Bintang Hindia, yang terbit di negeri Belanda, dengan pengarang utama Abdul Rivai, yang sedang melanjutkan studi kedokterannya. Di samping mempropagandakan cita-cita “kemajuan”, sejak tahun 1905 ia mengajukan dua hal yang lain. Pertama, perlunya tampil “kaum muda” dan “bangsawan pikiran”, sebab merekalah yang bisa membawa “bangsa ke dunia maju”. Ia juga menganjurkan agar didirikan “Perkumpulan Kaum Muda”, dengan cabang-cabang di semua kota-kota di tanah Hindia.
Tetapi dia sendiri tidak berada di tanah Hindia. Ia berada jauh di sana, di negeri Belanda. Barulah di tahun 1908 dampak dari idenya terwujud. Di tahun itu atas anjuran dokter Wahidin yang telah memahami maksud Rivai berhasil membujuk murid-murid sekolah Stovia, asal Jawa, di Jakarta, untuk mendirikan Budi Utomo (BU). Di samping itu, kedua, Rivai memperingatan jangan sampai “kemajuan” membawa kebangkrutan kultural. “Betapapun majunya”, katanya, “ bangsa Hindia harus tetap bangsa Hindia”.
Tetapi siapakah “bangsa Hindia” itu? Hanya empat bulan setelah berdirinya (Mei 1908), Budi Utomo telah memantapkan dirinya sebagai pendukung “nasionalisme Jawa”. Hal ini berlangsung sampai tahun 1935 ketika BU, bergabung dengan partai-partai lain untuk mendiri-
kan Partai Indonesia Raya (Parindra). Meskipun sejak awal Sarekat Islam bertujuan untuk menaikkan taraf kehidupan “anak negeri” atau “bangsa Islam”, kalau perlu dengan mengadakan pemogokan buruh serta menyelenggarakan “kongres nasional” tetapi adalah Indische Partij (didirikan tahun 1912) yang membuat batasan yang tegas tentang “bangsa Hindia” itu. Mereka adalah yang menetap di negeri ini—blijvers—sedangkan mereka yang mondar mandir saja—trekkers—adalah orang asing. Dalam suasana pemikiran inilah Suwardi Suryaningrat (kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara) menulis tulisan klasiknya, Als ik eens Nederlander was (“Seandainya saya orang Belanda”) yang mengecam rencana Belanda untuk merayakan “100 tahun kemerdekaannya” (dari penjajahan Perancis, di masa Napoleon) di tengah-tengah rakyat
yang dijajahnya.
Di negeri Belanda beberapa mahasiswa yang datang dari “tanah Hindia” dan yang telah tergabung dalam Indische Vereeniging mulai sadar juga bahwa ada perbedaan di antara mereka. Tetapi apakah “Hindia” adalah nama yang pantas bagi negeri yang ingin dimajukan ini? Ketika pertanyaan itu telah diajukan maka litaratur antropologi pun telah tersedia untuk memberi inspirasi.
Dalam proses pencarian inilah kata “Indonesia” ditemukan. Ketika beberapa bekas aktivis organisasi kedaerahan pemuda datang menyambung sekolah ke Belanda, mereka membawa suasana kegerahan perasaan “anak kolonial” ke negeri “pertuanan” itu. Mereka mengingatkan para pendahulu mereka akan adanya perbedaan yang fundamental di antara para pendatang dari Hindia Belanda itu. Sedangkan di negeri penjajah ini anak-anak pribumi tanah “Hindia” itu merasakan betapa tak berartinya batas-batas etnis yang selama ini masih terasa membatasi kehidupan mereka. Dalam suasana ini akhirnya di tahun 1922 Indische Vereeniging mengubah nama menjadi Indonesische Vereeinging. Tetapi hanyalah mereka yang biasa disebut “inlander” alias pribumi yang menjadi anggota. Pada tahun 1924 nama perkumpulan inipun diganti menjadi Perhimpoenan Indonesia dan majalah yang semula bernama Hindia Poetra, pun menjadi Indonesia Merdeka. Ketika itu pulalah—pada tanggal 11 Januari 1925—P.I. mengeluarkan manifesto politik yang tegas. Manifesto yang ditulis dalam bahasa Belanda ini mengatakan, antara lain, “Hanya suatu Indonesia yang merasa dirinya satu, sambil menyampingkan segala perbedaan antara satu golongan dengan golongan lain dapat mematahkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama, pembebasan Indonesia, menuntut adanya suatu aksi umum yang insyaf, bersandar atas kekuatan sendiri dan bersifat kebangsaan.”
Dengan tegas dinyatakan hasrat bangsa, yang telah bernama “Indonesia”, ialah kemerdekaan. Tema pokok pemikiran politik dan tujuan perjuangan telah sampai pada puncak yang tertinggi dalam waktu yang teramat singkat.”. Dalam salah satu tulisannnya Hatta, Ketua P.I. menyatakan, “Bagi kami Indonesia adalah suatu pernyataan dari tujuan politik, karena nama ini melambangkan dan menyuarakan tanah air di masa depan.”
Pada tahun 1927 Sukarno mengubah Algemeen Studie Club menjadi Partai Nasionalis Indonesia. Meskipun sesungguhnya Partai Komunis, adalah partai pertama yang memakai kata
“Indonesia”, tetapi barulah setelah P.I., yang senantiasa memprogandakan pemakaiannya dan berdirinya PNI kata “Indonesia” menjadi nama dan fakta yang semakin luas dipakai.
MENJELANG SUMPAH PEMUDA
Ketika Tri Koro Darmo didirikan pada tahun 1916, sejarah organisasi modern kepemudaan pun dimulai. Sejak 1918 setelah organisasi ini bertukar nama menjadi Jong Java dan Jong Sumatranen Bond didirikan pergerakan kepemudaan semakin berkembang. Para anggota perkumpulan kepemudaan umumnya ialah muridmurid sekolah menengah (MULO, AMS dan HBS), kemudian juga ikut mahasiswa kedokteran (Stovia) dan hukum (RHS). Setelah kedua perkumpulan itu menyusul Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak ( pecahan dari JSB) dan sebagainya, seperti Jong Islamieten Bond (pecahan Jong Java).
Para tokoh dan aktivis pergerakan pemuda, terutama dari Jong Java dan JSB (yang kemudian menyebut diri Pemuda Sumatra), banyak juga yang ikut dalam Politieke Debating Club. Dalam club ini mereka berdiskusi tentang persaudaraan umat manusia, kemanusiaan, persamaan hak, etika dan moralitas dan juga tentang perdamaian dan pengingkaran kekerasan sebagai alat penyelesaian perbedaan. Sementara itu pergolakan politik pergerakan kebangsaan dan perdebatan ideologi dan strategi politik di antara partai-partai politik memasuki relungrelung kesadaran anak-anak sekolah ini. Mestikah mereka bertahan dalam suasana kedaerahan masing-masing sedangkan panggilan akan peniadaan batas-batas ikatan kedaerahan itu telah semakin kuat juga? Ketika inilah cita-cita “Sumatra Raya” dan ”Jawa Raya” mulai menghadapi goncangan dari semangat “Indonesia Raya” yang sudah mulai tumbuh.
Dalam suasana inilah Kongres Pemuda yang pertama diadakan pada tanggal 30 April-2 Mei 1926). Kongres ini bertujuan untuk memajukan persatuan kebangsaan dan mengeratkan hubungan sesama organisasi pemuda. Berbagai masalah akademis dibicarakan untuk mencari dasar-dasar yang bisa mempersatukan—tentang adat istiadat, kedudukan perempuan dan bahasa. Tetapi bagaimanakah dengan perkumpulan kepemudaan yang bersifat kedaerahan itu?
Ketika daerah asal bukan lagi satusatunya pilihan sebagai dasar dari pergerakan kepemudaan, berbagai kemungkinanpun terbuka. Dalam suasana ini gejolak ke arah persatuan yang melampaui batas-batas etnis di kalangan angkatan muda semakin menaik. Merekapun mulai pula berteori-teori tentang “bangsa”.
Hanya saja timbul juga sebuah masalah —bagaimanakah mewujudkannya? Ketika perdebatan sedang berlangsung ini beberapa tokoh pemuda mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indoneia (PPPI) pada akhir tahun 1926. Pada tanggal 27 Februari 1927 sebuah perkumpulan lain terbentuk di Bandung, yaitu Jong Indonesia (yang kemudian lebih dikenal sebagai Pemuda Indonesia). Sementara itu—jauh di luar negeri, di Mesir—para pelajar dan mahasiswa Indonesia (dan Tanah Semenanjung) juga mendirikan perkumpulan kebangsaaan. Merekapun mengadakan kontak dengan P.I. di negeri Belanda. Begitulah akhirnya keputusan untuk mengadakan Kongres Pemuda II pun dibuat juga.
KONGRES PEMUDA INDONESIA II DAN SUMPAH PEMUDA
Tidak seperti kongres pertama sejak awal initiatif dan penyelenggara kongres adalah para wakil organisasi pemuda. Diketuai oleh Soegondo dari PPPI, anggota panitia terdiri dari wakil-wakil Jong Java, JSB, Jong Batak, JIB, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, dan Pemuda Kaum Betawi. Maka begitulah akhirnya Kerapatan (Congres) Pemoeda Pemoedi Indonesia—sebagaimana nama resmi kongres itu disebutkan—pun diadakan di Weltevreden (Djakarta), 27-28 Oktober. Konon jumlah yang hadir dalam kongres itu berkisar sekitar 750 sampai 1000 orang. Mereka yang hadir bukan saja para “pemuda dan pemudi” anggota berbagai perkumpulan itu tetapi juga tokoh pergerakan nasional, yaitu mereka yang telah bergerak dalam politik “orang dewasa”, meskipun sesungguhnya umur mereka masih muda, sebagian besar belum sampai berumur tiga puluh tahun.
Menurut kisahnya, ketika Mr. Sunarjo, eks aktivis P.I., sedang mengucapkan pidato yang terakhir, Yamin menyodorkan sehelai kertas yang telah tertulis kepada ketua sidang, Soegondo, sambil berbisik, “Saya punya konsep untuk penutupan.” Soegondo membaca dan sambil tersenyum menandatangi tanda setuju dan menyerahkannya pada para anggota panitia lain yang masing-masing juga menyatakan setuju. Begitulah ketika sidang akan ditutup “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoedi Indonesia” pun dibacakan. Setelah menyebutkan nama-nama perkum-pulan pendukung kongres dan mengatakan pula bahwa sesudah mendengar pidato-pidato yang diadakan dalam kerapatan tadi maka, keputusan itu melanjutkan, “Sesudah menimbang segala isi pidato-pidato dan pendapatan ini. Kerapatan lalu mengambil keputusan:
Pertama: Kami Putra dan putri Indonesia mengakui bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengakui berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Selanjutnya dikatakan bahwa setelah mendengar keputusan rapat dan sebagainya, kongres “mengeluarkan keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya: Kemajuan, Sejarah, Bahasa, Hukum Adat, Pendidikan dan Kepanduan.”
Begitulah secara berturut-turut perkumpulan-perkumpulan pemuda mengadakan kongres pembubaran diri mereka masing-masing—Jong Java (27 Desember, 1929), PPPI (31 Desember, 1929), Jong Selebes (15 Maret, 1930) dan JSB (23 Maret, 1930). Akhinya, sebuah komisi yang dibentuk bersama organisasi-organisasi itupun membuat pengumuman, “Dan pada saat ini,” tulisnya, “pada petang Rebo malam Kamis tanggal 31 Desember 1930 masuk 1 Djanuari 1931 sampailah kami pada waktu yang paling akhir melakukan kewajiban, seperti yang terserah kepada kami Komisi Besar, dan terbukalah zaman Baharu, ... ternyatalah dengan seterang-terangnya keperluan dan hak Indonesia Muda akan berdiri.”Selanjutnya? Te rest is history.
Prof. Dr. Taufk Abdullah, (Sejarawan)
(Bulletin EDISI 06, Thn. I, OKTOBER 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar