PENGARUH HUKUM TERHADAP WAWASAN KEBANGSAAN
1. Pendahuluan
1.1. Wawasan Kebangsaan
Terdapat dua kata yang harus dijelaskan tentang wawasan kebangsaan, yaitu wawasan dan kebangsaan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa; “Wawasan berasal dari kata mawas, yang berarti meneliti, meninjau, mengamati, melihat atau memandang. Wawasan dapat berarti juga sebagai pandangan atau tinjauan. Sedangkan Kebangsaan, adalah ciri-ciri atau identitas yang menandai asal bangsanya, atau golongan suatu bangsa”.
Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa, wawasan kebangsaan adalah cara pandang suatu bangsa terhadap prinsip-prinsip dasar kebangsaan yang menjadi ciri atau identitas kepribadian bangsa tersebut. Sehingga dengan berpedoman kepada cara pandang yang menjadi prinsip dasar kebangsanya itu, maka bangsa tersebut memiliki sikap dan jati diri sesuai dengan nilai-nilai dasar yang dianutnya.
Dalam rangka menerapkan konsep wawasan kebangsaan perlu dipahami aspek moral dan aspek intelektual. Aspek moral konsep wawasan kebangsaan menyaratkan adanya komitmen pada warga negara untuk turut bekerja bagi kelanjutan eksistensi bangsa dan bagi peningkatan kualitas kehidupan bangsa. Aspek intelektual wawasan kebangsaan juga menghendaki pengetahuan yang memadai mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa, baik saat ini maupun di masa datang dan berbagai potensi yang dimiliki bangsa.
Berdasarkan uraian di atas, maka wawasan kebangsaan ini akan menentukan cara suatu bangsa mendayagunakan kondisi geografis negaranya, sejarah, sosio-budaya, ekonomi, dan politik serta pertahanan dan keamaan dalam mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan nasionalnya. Wawasan ini menentukan bagaimana bangsa itu menempatkan dirinya dalam tata berhubungan dengan sesama bangsanya dan dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia (internasional).
2. Wawasan Kebangsaan Indonesia
Wawasan kebangsaan dalam kerangka NKRI yang telah berkembang dan mengkristal tidak lepas dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam membentuk negara ini. Konsep wawasan kebangsaan Indonesia tercetus pada waktu diikrarkannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai tekad perjuangan sebagai pernyataan eksitensi bangsa Indonesia yaitu satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Wawasan seperti itu pada
hakikatnya tidak mengenal perbedaan asal-usul kesukuan, keturunan, agama, ataupun warna kulit. Dengan perkataan lain, wawasan kebangsaan Indonesia lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah NKRI.
3. Nilai-nilai Dasar Wawasan Kebangsaan
Nilai-nilai dasar wawasan kebangsaan yang terwujud dalam persatuan dan kesatuan bangsa memiliki enam dimensi manusia yang mendasar sebagai berikut.
Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tekad bersama untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, dan bersatu.
Cinta akan tanah air dan bangsa.
Demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Kesetiakawanan sosial.
Cita-cta mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Berdasarkan nilai-nilai dasar itu, wahana kehidupan religius diwujudkan dengan memeluk agama dan menganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dilindungi oleh negara dan sewajarnya mewarnai hidup kebangsaan. Wawasan kebangsaan membentuk manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya sebagai obyek dan subyek usaha pembangunan nasional menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan falsafah hidup Pancasila.
Dari sisi politik dan pemerintahan, kita bersama mengetahui bahwa walaupun seluruh peraturan perundang-undangan kita berlaku sama untuk seluruh daerah, namun implementasinya di lapangan akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya ini.
Gagasan satuan masyarakat sosial politik ditemukan dalam pasal 18 UUD tahun 1945 sebagai berikut.
1. NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang diatur dengan undangundang.
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki dewan perwakilan rakyat daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4. Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Dengan demikian, satuan masyarakat sosial politik ini merupakan masyarakat hukum, dibentuk dengan undang-undang, dan merupakan bagian dari sistem pemerintahan nasional.
Secara ideologis dan konstitusional, masalah sistem pemerintah yang kita hadapi adalah bagaimana menyusun tatanan pemerintahan yang dapat membuka peluang terlaksananya peran fungsional terpadu, baik bagi satuan masyarakat sosiokultural yang bersifat asli ini maupun pada satuan masyarakat sosiopolitik yang dirancang secara nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi peluang untuk mengadakan penyesuaian secara local pada ketentuan-ketentuan hukum yang secara nasional dibuat dalam garis-garis besar.
4. Kemerosotan Faktor Integrasi Bangsa
Wawasan kebangsaan penting untuk ditanamkan kepada setiap warga Warga Negara Indonesia, dan karena itu perlu disosialisasikan kepada segenap lapisan masyarakat secara terus menerus, bukan hanya sekedar menjadi sebuah gerakan sesaat, tetapi harus diupayakan secara berkesinambungan. Wawasan kebangsaan yang sering didengungkan oleh pemerintah, hendaknya tidak sekedar retorika verbal yang tak pernah diaktualisasikan dalam kenyataan. Namun wawasan kebangsaan harus benar-benar terealisasi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kita dapat menyaksikan bahwa kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sekarang cenderung kurang memiliki semangat kebangsaan, misalnya;
1) Suatu golongan begitu mudah menghujat golongan yang lain,
2) Suatu kelompok saling menjelekan dan mencaci-maki kelompok lain.
Pada gilirannya dapat menimbulkan bentrokan,
a) antar golongan,
b) antar kelompok,
c) antar suku, agama, ras dan lain-lain.
Hal seperti ini bila dibiarkan akan menyuburkan benih-benih primordialisme (kedaerahan), fanatisme kelompok, fanatisme golongan, kesukuan, dan lain-lain yang dapat menimbulkan perpecahan.
Nilai-nilai wawasan kebangsaan cenderung semakin luntur dalam kehidupan kita berbangsa. Hal ini dapat dilihat secara jelas misalnya dengan timbulnya berbagai konflik di berbagai tempat di tanah air. Misalnya di Maluku, di Kalimantan, di Aceh, di Papua, dan di berbagai tempat lainnya. Bahkan di sejumlah tempat, Papua Maluku, dan Aceh, mereka yang tidak percaya dengan konsep kebangsaan sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh para pendiri negara ini cenderung masih menunjukkan keinginan untuk memisahkan diri untuk menjadi negara sendiri terlepas dari NKRI.
Di sisi lain para pemimpin sendiri seringkali kurang sungguh-sungguh berusaha agar segera dapat mewujudkan cita-cita bangsa dan negara. Sangat banyak terjadi penyimpangan pengelolaan negara menunjukkan pengkhianatan terang benderang terhadap semangat persatuan dan kesatuan. Dalam mengelola sumber-sumber daya, upaya untuk lebih mendulukan pribadi atau kelompoknya sendiri, tampak begitu kental. Berbagai praktik pengkhianatan nilai-nilai kejuangan bangsa Indonesia itu menunjukkan begitu rapuhnya konsistensi komitmen kita untuk mengejawantahkan nilai-nilai luhur bangsa dalam perilaku kita sehari-hari.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan otonomi daerah dipandang akan mendorong terciptanya kemandirian masyarakat daerah. Namun, perlu diwaspadai kemungkinan tumbuhnya keangkuhan etnis, sikap kedaerahan yang etnosentris, serta fanatisme putra daerah yang dapat memicu terjadinya konflik dan merusak wawasan kebangsaan NKRI. Hal ini sebenarnya telah menggejala di berbagai daerah. Ungkapan bahwa untuk dapat menduduki posisi tertentu dalam birokrasi pemerintah di daerah tertentu dengan persyaratan putra asli setempat menunjukkan betapa picik dan sempitnya pikiran kita.
Modernisasi yang diperkenalkan globalisasi cenderung serba rasional, pragmatis, materialistis, dan hedonistis yang pada kenyataannya semakin memengaruhi system nilai, cara pandang, dan model tindakan masyarakat yang rentan terhadap berbagai bentuk penyimpangan dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa. Kondisi ini dapat dilihat dari semakin banyaknya kasus korupsi, merebaknya kriminalitas, seks bebas dan lain-lain merupakan contoh dampak negatif globalisasi.
Radikalisme serta konflik horizontal dan vertikal yang terjadi akhir-akhir ini, mengakibatkan menipisnya rasa aman yang jika dibiarkan dapat mengubah cara pandang, baik dari masyarakat Indonesia sendiri terhadap aspek politik, sosio-ekonomi dan kepastian hukum di dalam negeri, maupun cara pandang dunia terhadap Indonesia. Radikalisme di Indonesia saat ini, umumnya merupakan perlawanan terhadap kapitalisme, ketidakadilan, pengangguran, dan kemiskinan. Ini adalah bentuk agresivitas sebagai perwujudan dari perasaan kecewa yang berkepanjangan.
Berbagai permasalahan yang diuraikan di atas disebabkan oleh melemahnya penghayatan dan penerapan nilai-nilai kebangsaan, serta rendahnya pengetahuan masyarakat akan kewilayahan yang harus diperjuangkan dalam kancah internasional. Pengetahuan kewilayahan seringkali hanya didasarkan atas peristiwa historis yang dipahami sebagai hasil perjuangan para pendiri NKRI.
1.1. Pengertian Hukum
Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum.
Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Uraian lebih lanjut ada pada bagian Hukum Indonesia.
5. Peranan Hukum
Pembangunan di bidang hukum menjadi penting karena bertujuan untuk menghasilkan produk-produk hukum yang dapat mendukung dan mengamankan pembangunan hukum Nasional dan sebagai aktualisasi dari konsep Negara hukum sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-undang dasar 1945.
Pembangunan hukum yang dilandasi oleh nilai dasar atau nilai ideologis, nilai historis, nilai sosiologis dan nilai juridis serta nilai filosofisnya akan memberikan dampak positif bagi masyarakat untuk dapat menikmati rasa keadilan, kepastian dan manfaat hukum yang pada akhirnya akan bermuara kepada pembentukan sikap dan kesadaran masyarakat terhadap hukum.
Bagi masyarakat yang sedang membangun sebagaimana halnya masyarakat Indonesia; membangun termasuk di dalamnya membangun hukum tidak saja berarti membangun sarana pengendali atau control dalam kehidupan masyarakat, akan tetapi hukum yang dibangun juga harus berfungsi sebagai sarana untuk memelihara persatuan dan kesatuan sekaligus untuk mengembangkan potensi pembangunan nasional secara lebih luas.
Perdana Menteri Djuanda pada tanggal 13 Desember tahun 1957 melalui sautu deklarasi memperkenalkan konsep Wawasan Nusantara, yang menetapkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan.
Selanjutnya, melalui konsep yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Juanda, ide "negara kepulauan" mendapatkan pengakuan internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nation Convention on Law of the Sea) memasukkan konsep archipelagic state sebagai konsep hukum internasional (Brownlie, 1995). Hal ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan Indonesia dalam menjadikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai perwujudan dari negara kepulauan Indonesia.
Perjuangan Perdana Menteri Djuanda ini, dilanjutkan oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja yang mampu mengartikulasikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai prinsip-prinsip dasar yang dapat mempersatukan Negara RI. Melalui konsepsi Wawasan Nusantara ini, pamor Indonesia meningkat karena konsepsi ini merupakan salah satu terobosan penting khususnya dalam hukum internasional.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memperjuangkan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai argumen untuk mempersatukan pulau-pulau yang tersebar dari ujung Sumatera sampai Irian Jaya (Papua).
Hanya dengan konsep penetapan batas laut wilayah sejauh 12 mil saja akan membuat adanya bagian laut bebas didalam pulau-pulau Indonesia yang dapat diinterpretasikan sebagai laut bebas.
Dengan konsepsi negara kepulauan maka kelemahan itu berhasil ditutupi. Semua laut dalam di antara pulau-pulau atau di tengah kepulauan Indonesia sudah tidak dihitung lagi sebagai laut internasional, tetapi sebagai laut pedalaman yang termasuk sebagai kawasan laut territorial dari suatu negara kepulauan.
Konsepsi politik kewilayahan ini dimulai dengan UU. No. 4/Prp/1960 yang dalam Konferensi Hukum Laut III terus diperjuangkan dan berujung pada penerimaan UNCLOS 1982 pada 10 Desember 1982.
Pemerintah Indonesia sendiri tak perlu menunggu waktu yang terlalu lama untuk meratifikasi Konvensi tersebut melalui UU No. 17 tahun 1984. Disamping itu mengenai garis batas Indonesia, baik laut wilayah, landas kontinen, maupun zona ekonomi eksklusif juga telah dapat diselesaikan pada era Menlu Mochtar Kusumaatmadja.
Lebih kurang sejak tahun 1969 sampai tahun 1982 ada sekitar 18 persetujuan menyangkut batas dengan negara lain berhasil ditandatangani.
Apabila kita hendak bernostalgia, Wawasan Nusantara sebagai suatu tatanan nilai pemersatu bangsa, lahir sejalan dengan tumbuhnya bangsa Indonesia. Secara geografis posisi Indonesia yang diapit oleh dua benua dan dua samudera menjadi suatu mozaik yang utuh apabila diberi kerangka konsepsi Wawasan Nusantara.
Pada masa dasawarsa 1980-an ,tidak ada yang dapat membantah kebesaran Indonesia apabila dipandang sebagai satu kesatuan dalam Wawasan Nusantara. Indonesia bukan hanya pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian ataupun Bali semata-mata. Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai arti strategis secara geopolitis baik di kawasan regional maupun internasional.
Meskipun demikian, dapat diperdebatkan bahwa kepemimpinan mantan Presiden Soeharto yang otoritarian mempunyai pengaruh besar kepada penerimaan Wawasan Nusantara sebagai alat pemersatu bangsa. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa dengan menerima konsepsi ini sebenarnya tidak mengakar kuat.
Alasannya adalah karena adanya dominasi salah satu suku terhadap suku-suku lain. Dalih persatuan dan kesatuan yang dianggap "Jawa sentris" ini akhirnya menumbuhkan api dalam sekam yang melemahkan jati diri bangsa Indonesia.
Ide "nation building" yang dicita-citakan melalui Pancasila akhirnya mengalami dekadensi nilai, seiring dengan perubahan geopolitis dan perkembangan teknologi informasi. Sehingga banyak pihak yang mengambil kesimpulan bahwa di era globalisasi sekarang ini, nilai-nilai luhur bangsa seperti Wawasan Nusantara tersebut tidak dapat membawa Indonesia keluar dari keterpurukan.
Pada awal era reformasi tahun 1998, semua pihak berlomba-lomba berbalik menyerang nilai-nilai yang ada dianggap ?“sakral?” pada masa Orde Baru. Padahal sebagian dari orang-orang tersebut adalah mereka yang paling menikmati hasil pembangunan pada Orde Baru dan bahkan pendukung kuat nilai-nilai tersebut. Akhirnya konsepsi Wawasan Nusantara pun tak luput menjadi salah satu kambing hitam kegagalan Orde Baru.
Keadaan ini dilukiskan oleh filsuf Thoreau yaitu ketika ada sekelompok orang-orang di saat Revolusi Amerika, yang seraya mencela tindakan dan kebijakan pemerintah terdahulu, telah mengambil keuntungan dari keadaan tersebut untuk lepas dari dosa masa lalunya. (Downs, Robert B, 1970)
- Globalisasi dan Dis-orientasi Bangsa Indonesia
Runtuhnya Uni Sovyet dan negara sosialis lainnya membawa perubahan drastis dalam tatanan politik. Perang dingin yang ditandai dengan persaingan blok Barat-Timur berganti dengan menguatnya hegemoni Amerika Serikat dengan tindakan unilateralisme.
Kondisi global ini mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan di Indonesia. Setelah proses reformasi yang dimulai tahun 1998, peran blok netral melalui politik luar negeri yang bebas dan aktif kehilangan perspektif. Disisi lain ancaman komunisme tidak dapat lagi dijadikan tameng untuk mempertahankan status quo bagi rejim lama yang ingin berkuasa selama mungkin.
Ancaman komunisme tidak lagi menjadi momok yang dapat dijual untuk menindas lawan politik. Dengan sendirinya ide demokrasi Pancasila dengan kelima silanya tidak lagi dihadapkan dengan ideologi komunisme tetapi sudah berhadapan langsung dengan ide demokrasi itu sendiri.
Globalisasi yang ditandai dengan kemudahan memperoleh informasi global secara real time membuat jargon "demokrasi Pancasila" menjadi kehilangan pamor apabila disandingkan dengan demokrasi gaya "Barat" (liberalisme) yang dipahami sebagai nilai demokrasi yang universal termasuk oleh negara-negara yang dulunya disebut negara komunis.
Rezim Soeharto yang berdalih bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang khas Indonesia menjadi kehilangan legitimasinya. Rakyat tidak mungkin lagi disodori ide demokrasi yang "unik" tetapi kenyataaannya dirancang hanya untuk melegitimasi suatu rejim. Rakyat ingin demokrasi di negara-negara bekas komunis seperti yang digambarkan oleh berbagai mass media.
Yang terjadi adalah kebebasan yang mengalir deras bagaikan air bah yang cenderung menjadi euphoria. Euphoria yang berkembang mengatakan bahwa demokrasi adalah kebebasan. Ini menjadi mantera sakti yang didengungkan dan dipahami masyarakat awam. Atas nama keinginan publik, entah publik yang mana, seringkali menjadi resep sakti untuk bertindak anarkis.
Ibarat kuda yang keluar dari kandang dan dikendalikan oleh penunggang yang memang belum pernah naik kuda. Suatu paduan yang sangat berbahaya, penuh kekuatan tapi tidak terkendali. Membabi buta menuntut kebebasan dari pemerintah. Bebas tanpa peraturan. Aturan adalah kebebasan.
Apapun yang terlihat sebagai perwujudan dari kebebasan dijadikan orientasi untuk menggambarkan demokrasi. Ungkapan "sekarang ini zaman demokrasi bung!" adalah makanan sehari-hari.
Tidak sulit untuk menunjukkan bukti bahwa kebebasan dengan kepentingan yang beraneka ragam itu saling berbenturan dan memakan korban. Ditambah dengan intrik-intrik yang dipelopori oleh petualang politik, maka harga demokrasi menjadi suatu hadiah yang teramat mahal untuk sebuah kebebasan.
Lambat laun, bangsa Indonesia semakin kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beradab. Keramahtamahan yang menjadi ciri kepribadian yang khas Indonesia tidak lagi bias dibanggakan.
Fenomena ini mengarah kepada menguatnya kepentingan kelompok diatas kepentingan bangsa. Kelompok kelompok masyarakat mulai dari rakyat biasa, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, kelompok agama, golongan dan lain sebagainya terbiasa dan cenderung berfikir untuk kelompok atau golongannya tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih besar.
Lebih jauh lagi, sudah sulit menemukan pemimpin yang berpandangan sebagai negarawan. Kita sudah lupa bahwa bangsa Indonesia itu adalah negara kesatuan yang mempunyai falsafah Pancasila.
Seiring dengan kondisi politik global, isu terorisme menjadi salah satu masalah besar yang menambah buruknya citra Indonesia dan yang pasti mengganggu stabilitas keamanan dan perekonomian Indonesia.
Yang lebih memprihatinkan, sehubungan dengan isu terorisme, sejak beberapa tahun belakangan ini, rasa saling mencurigai diantara sesama komponen masyarakat semakin meningkat. Pemerintah dihadapkan kepada keadaan yang dilematis. Akhirnya upaya untuk meminimalisir aksi terorisme ini dilakukan dengan hati-hati karena akar permasalahannya begitu kompleks dan sensitif.
Hasil amandemen UUD 1945 yang tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila tampaknya masih perlu dijabarkan dalam tatanan praktis kehidupan masyarakat. Masih ada kelompok masyarakat yang menganut pandangan yang berbeda dengan falsafah Negara. Mereka berpandangan bahwa jati diri Indonesia bukan negara kesatuan dan bukan negara yang berlandaskan Pancasila.
Perbedaan yang mendasar ini apabila tidak dapat diakomodasikan membuat ancaman disintegrasi bukan suatu ilusi belaka. Keadaan bangsa Indonesia sekarang ini seperti kehilangan orientasi. Reformasi 1998 dapat dipandang sebagai tsunami politik yang membawa duka sekaligus harapan akan berubahnya masa depan bangsa.
Paska masa transisi selama lebih kurang delapan tahun merupakan saatnya untuk belajar dari kegagalan dalam penanganan krisis. Saatnya kita duduk tenang dan bersama-sama merumuskan kembali jati diri bangsa Indonesia.
- Revitalisasi Wawasan Nusantara
Sebagai suatu nilai dasar, sebagaimana dikatakan oleh pakar ketahanan nasional, Sayidiman Suryohadiprojo, Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap eksistensi dirinya di tengah-tengah masyarakat internasional.
Secara prinsip, Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila. Sedangkan keanekaragaman ras, suku, agama, dan bahasa daerah merupakan khasanah budaya yang dapat menjadi unsur pemersatu bangsa.
Posisi strategis Indonesia dan kekayaan alam tidak hanya kiasan yang semu tetapi suatu modal untuk memotivasi bangsa untuk bangkit kembali. Kita harus belajar dari pengalaman masa lalu, jangan terbuai dengan kekayaan alam semata tetapi perlu mengkombinasikan kekayaan alam dengan etos kerja keras.
Pemahaman ini membawa konsekuensi bahwa pembangunan dan kerjasama internasional yang dijalin perlu dilihat secara komprehensif dari berbagai aspek terkait (poleksosbud-hankam). Jadi tidak semata-mata penekanan kepada pertimbangan ekonomis.
Sebenarnya modal politik untuk merevitalisasi Wawasan Nusantara telah dirintis oleh pemerintah sebelumnya. Namun pengakuan internasional terhadap status Indonesia sebagai negara kepulauan ini perlu disikapi bukan sebagai pencapaian puncak perjuangan, melainkan lebih sebagai point of departure untuk memaksimalkan potensi kelautan.
Pemahaman ini membawa implikasi diperlukannya perumusan kebijakan kelautan nasional secara terpadu sebagai penjabaran lebih lanjut dari konsepsi kewilayahan nusantara. Dari aspek peraturan perundangan, sejauh ini telah memadai dengan adanya sejumlah peraturan perundangan-undangan nasional di bidang kelautan & perikanan.
Diantaranya UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen dan peraturan pendukungnya di bidang eksplorasi migas, UU No. 5 tahun 1985 tentang ZEE Indonesia beserta peraturan pendukungnya di bidang perikanan, serta UU No. 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia.
Disamping ketentuan perundangan-perundangan tersebut, Pemerintah pada 28 Juni 2002 secara serentak juga telah menerbitkan tiga Peraturan Pemerintah (PP), masing-masing tentang hak lintas damai (PP No. 36 Tahun 2002), hak alur laut kepulauan Indonesia - disingkat sebagai ALKI (PP No. 37 Tahun 2002) serta penentuan daftar koordinat geografis titik-titik terluar nusantara (PP No. 38 tahun 2002).
Peraturan perundangan terakhir ini bahkan memiliki arti yang penting karena memperkuat konsepsi kewilayahan sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan (Indonesia).
- Pasal 25 UUD 1945
Secara konstitusi, legitimasi untuk merevitalisasi wawasan nusantara dapat dirujuk pada . UUD 1945. Ketentuan BAB IX A tentang Wilayah Negara. Walaupun hanya terdiri dari satu pasal saja, yakni pasal 25A merupakan blessing in disgue dari amandemen UUD 1945. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal yang merupakan hasil amanden kedua pada tahun 2000 tersebut merupakan landasan yuridis untuk revitalisasi Wawasan Nusantara. Pada UUD 1945 sebelum amandemen, masalah wilayah negara Indonesia tidakk dicantumkan. Jadi pasal 25A ini mempunyai arti dan makna politis serta strategis sebagai unsur pemersatu bangsa.
- Kebijakan kelautan di bidang pertahanan dan ekonomi
Secara politis, pemilihan seorang Jenderal dari Angkatan Laut, Freddy Numbery, sebagai menteri kelautan dan perikanan merupakan modal strategis untuk menyatukan visi Indonesia sebagai negara kepulauan dan bangsa pelaut.
Menurut penulis, pemilihan ini bisa jadi merupakan cerminan visi Presiden Yudoyhono dalam hal kebijakan kelautan dengan mempersatukan potensi pertahanan dan potensi ekonomi di bidang kelautan.
Potensi pertahanan dan potensi ekonomi juga disebutkan dalam doktrin Angkatan Laut RI (TNI AL) yaitu Eka Sasana Jaya. Menurut doktrin ini yang juga dianut oleh banyak Angkatan Laut di dunia, merupakan fakta sejarah bahwa kebesaran suatu bangsa atau negara maritim sangat ditentukan oleh kekuatan lautnya, berupa kekuatan armada niaganya yang mampu berlayar mengarungi samudera untuk melakukan perdagangan. Untuk menjamin keselamatan dari armada niaga, maka dibentuklah suatu kekuatan armada bersenjata yaitu Angkatan Laut. Berdasarkan fakta sejarah tersebut, maka kehadiran angkatan laut untuk memberikan jaminan keamanan di laut, sudah merupakan suatu conditiosinequanon.
Namun dalam konteks revitalisasi Wawasan Nusantara, implementasi dari visi kabinet tersebut masih perlu disinergikan dengan berbagai sektor dan kebijakan lainnya.
Antara lain buku tentang kebijakan (white paper) Pertahanan RI yang berjudul "Mempertahankan Tanah Air" (Dephankam, 2003) tidak mampu menggambarkan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai konsepsi yang outward looking.
Buku putih tersebut masih mengedepankan orientasi pertahanan yang bertumpu aspek darat. Seyogyanya Indonesia sebagai sebuah negara yang mempunyai konsep pertahanan yang bertumpu pada pertahanan berjenjang, mengembangkan basis perairan serta dengan pulau-pulau yang bertebaran. (Pertahanan Nusantara).
Hal ini sepertinya mengingkari kenyataan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state). Mempertahankan negara kepulauan lebih logis bila bertitik tumpu pada Angkatan Laut yang didukung oleh Angkatan Udara dalam kerangka pertahanan terluar (zona penyangga). Sementara lini Darat siap menggelar kekuatannya bilamana perang merambah pada zona pertahanan dan perlawanan daratan.
Indonesia perlu memiliki untuk gertak (deterrence) di laut maupun di udara. Upaya mempertahankan Nusantara dengan tidak mengedapankan peran Angkatan Laut khususnya merupakan strategi yang kurang tepat. Indonesia adalah sebuah negara yang unik di mana memiliki wilayah perairan yang lebih luas dari daratan. Oleh karena itu, sistem pertahanan Nusantara harus menekankan pada kekuatan maritim dan kekuatan dirgantara tanpa mengabaikan kekuatan sistem pulau besar (continental).
Tidak tepat bila upaya mempertahankan Nusantara memfokuskan penggunaan strategi pertahanan kontinental ketimbang penggunaan kekuatan maritim dan dirgantara.
Karena itu, konsistensi pertahanan Indonesia ke depan harus jelas sesuai predikat Indonesia sebagai "Negara Kepulauan" yang diakui dunia internasional. Dengan demikian modal sebagai Negara kepulauan seyogyanya perlu segera diberdayakan untuk kepentingan nasional seperti mencegah terulangnya kekalahan Indonesia dalam memperebutkan Pulau Sipadan Ligitan dengan Malaysia.
Berkaitan dengan sengketa Ambalat, kekhawatiran hilangnya kembali pulau ini perlu diwaspadai. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa aroma politis dari kasus Ambalat cukup berdampak untuk menaikkan popularitas pemerintahan SBY pada awal pemerintahannya.
Demikian pula sinyalemen tenggelamnya pulau Nipah sebagai pulau batas Indonesia dengan Singapura akibat penggerukan pasir oleh pengusaha Singapura dapat ditanggulangi sejak dini.
6. Mewujudkan Indonesia Yang Demokratis Berlandaskan Hukum
Demokratis yang berlandaskan hukum merupakan landasan penting untuk mewujudkan pembangunan Indonesia yang maju, mandiri dan adil. Demokrasi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan, dan memaksimalkan potensi masyarakat, serta meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan negara. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk memastikan munculnya aspek-aspek positif dan menghambat aspek negatif kemanusiaan serta memastikan terlaksananya keadilan untuk semua warga negara tanpa memandang dan membedakan kelas sosial, ras, etnis, agama, maupun gender. Hukum yang ditaati dan diikuti akan menciptakan ketertiban dan keterjaminan hak-hak dasar masyarakat secara maksimal. Untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis dan adil dilakukan dengan memantapkan pelembagaan demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran masyarakat sipil sehingga proses pembangunan partisipatoris yang bersifat bottom up bisa berjalan; menumbuhkan masyarakat tanggap (responsive community) yang akan mendorong semangat sukarela (spirit of voluntarism) yang sejalan dengan makna gotong royong; memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah; menjamin perkembangan dan kebebasan media dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat; melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil.
1. Penyempurnaan struktur politik yang dititikberatkan pada proses pelembagaan demokrasi dilakukan dengan (a) mempromosikan dan menyosialisasikan pentingnya keberadaan sebuah konstitusi yang kuat dan memiliki kredibilitas tinggi sebagai pedoman dasar bagi sebuah proses demokratisasi berkelanjutan; (b) menata hubungan antara kelembagaan politik, kelembagaan pertahanan keamanan dalam kehidupan bernegara; (c) meningkatkan kinerja lembaga-lembaga penyelenggara Negara dalam menjalankan kewenangan dan fungsi-fungsi yang diberikan oleh konstitusi dan peraturan perundangan; (d) memantapkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah serta mencegah disintegrasi wilayah dan perpecahan bangsa; (e) melaksanakan rekonsiliasi nasional secara tuntas; dan (f) menciptakan pelembagaan demokrasi lebih lanjut untuk mendukung berlangsungnya konsolidasi demokrasi secara berkelanjutan.
2. Penataan peran Negara dan masyarakat dititikberatkan pada pembentukan kemandiria dan kedewasaan masyarakat serta pembentukan masyarakat madani yang kuat dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Di samping itu, penataan peran negara dan masyarakat diarahkan pada penataan fungsifungsi yang positif dari pranata-pranata kemasyarakatan, lembaga adat, dan partai politik untuk membangun kemandirian masyarakat dalam mengelola berbagai potensi konflik sosial yang dapat merusak serta memberdayakan berbagai potensi positif masyarakat bagi pembangunan. Upaya untuk mendorong perwujudan masyarakat sipil yang kuat perlu juga memerhatikan pengaruh pasar dalam kehidupan sosial politik nasional agar tidak terjadi ekses-ekses negatif dan kesenjangan sosial yang merugikan kehidupan masyarakat.
3. Penataan proses politik yang dititikberatkan pada pengalokasian/representasi
kekuasaan diwujudkan dengan (a) meningkatkan secara terus menerus kualitas proses dan mekanisme seleksi publik yang lebih terbuka bagi para pejabat politik dan public serta (b) mewujudkan komitmen politik yang tegas terhadap pentingnya kebebasan media massa serta keleluasaan berserikat, berkumpul, dan berpendapat setiap warganegara berdasarkan aspirasi politiknya masing-masing.
4. Pengembangan budaya politik yang dititikberatkan pada penanaman nilai-nilai
demokratis diupayakan melalui (a) penciptaan kesadaran budaya dan penanaman nilai-nilai politik demokratis, terutama penghormatan nilai-nilai HAM, nilai-nilai persamaan, anti kekerasan, serta nilai-nilai toleransi, melalui berbagai wacana dan media serta (b) upaya mewujudkan berbagai wacana dialog bagi peningkatan kesadaran mengenai pentingnya memelihara persatuan bangsa.
5. Peningkatan peranan komunikasi dan informasi yang ditekankan pada pencerdasan masyarakat dalam kehidupan politik dilakukan dengan (a) mewujudkan kebebasan pers yang lebih mapan, terlembaga serta menjamin hak masyarakat luas untuk berpendapat dan mengontrol jalannya penyelenggaraan negara secara cerdas dan demokratis; (b) mewujudkan pemerataan informasi yang lebih besar dengan mendorong munculnya media-media massa daerah yang independen; (c) mewujudkan deregulasi yang lebih besar dalam bidang penyiaran sehingga dapat lebih menjamin pemerataan informasi secara nasional dan mencegah monopoli informasi; (d) menciptakan jaringan informasi yang bersifat interaktif antara masyarakat dan kalangan pengambil keputusan politik untuk menciptakan kebijakan yang lebih mudah dipahami masyarakat luas; (e) menciptakan jaringan teknologi informasi dan komunikasi yang mampu menghubungkan seluruh link informasi yang ada di pelosok
nusantara sebagai suatu kesatuan yang mampu mengikat dan memperluas integritas bangsa; (f) memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi secara efektif agar mampu memberikan informasi yang lebih komprehensif kepada masyarakat internasional supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat meletakkan Indonesia pada posisi politik yang menyulitkan: serta (g) meningkatkan peran lembaga independen di bidang komunikasi dan informasi untuk lebih mendukung proses pencerdasan masyarakat dalam kehidupan politik dan perwujudan kebebasan pers yang lebih mapan.
6. Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan Negara yang makin tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin lancar.
7. Pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia serta mampu mendorong tumbuhnya kreativitas dan melibatkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mencakup perencanaan hukum, pembentukan hukum, penelitian dan pengembangan hukum. Di sisi lain, perundang-undangan yang baru juga harus mampu mengisi kekurangan/kekosongan hukum sebagai pengarah dinamika lingkungan strategis yang sangat cepat berubah. Perencanaan hukum sebagai bagian
dari pembangunan materi hukum harus diselenggarakan dengan memerhatikan
berbagai aspek yang memengaruhi, baik di dalam masyarakat sendiri maupun dalam pergaulan masyarakat internasional yang dilakukan secara terpadu dan meliputisemua bidang pembangunan sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta dapat mengantisipasi perkembangan zaman. Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta sehingga menghasilkan produk hukum beserta peraturan pelaksanaan yang dapat diaplikasikan secara efektif dengan didukung oleh penelitian dan pengembangan hukum yang didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Penelitian dan pengembangan hukum diarahkan pada semua aspek kehidupan sehingga hukum nasional selalu dapat mengikuti perkembangan dan dinamika pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun masa depan. Untuk meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan hukum diperlukan kerja sama dengan berbagai komponen lembaga terkait, baik di dalam maupun di luar negeri.
8. Pembangunan struktur hukum diarahkan untuk memantapkan dan mengefektifkan berbagai organisasi dan lembaga hukum, profesi hukum, dan badan peradilan sehingga aparatur hukum mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional. Kualitas dan kemampuan aparatur hukum dikembangkan melalui peningkatan kualitas dan profesionalisme melalui sistem pendidikan dan pelatihan dengan kurikulum yang akomodatif terhadap setiap perkembangan pembangunan serta pengembangan sikap aparatur hukum yang menunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keterbukaan dan keadilan, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta bertanggung jawab dalam bentuk perilaku yang teladan. Aparatur hukum dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional perlu didukung oleh sarana dan prasarana hukum yang memadai serta diperbaiki kesejahteraannya agar di dalam melaksanakan tugas dan kewajiban aparatur hukum dapat berjalan dengan baik dan terhindar dari pengaruh dan intervensi pihak-pihak dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme.
9. Penerapan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dilaksanakan secara
tegas, lugas, profesional, dan tidak diskriminatif dengan tetap berdasarkan pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), keadilan, dan kebenaran, terutama dalam penyelidikan, penyidikan, dan persidangan yang transparan dan terbuka dalam rangka mewujudkan tertib sosial dan disiplin sosial sehingga dapat mendukung pembangunan serta memantapkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM) dilakukan terhadap berbagai tindak pidana, terutama yang akibatnya dirasakan langsung oleh masyarakat luas, antara lain tindak pidana korupsi, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan narkotik. Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penegakan hukum di laut secara terus-menerus harus ditingkatkan sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam perundang-undangan nasional dan hukum internasional. Pemantapan lembaga peradilan sebagai implikasi satu atap dengan lembaga Mahkamah Agung secara terus-menerus melakukan pengembangan lembaga peradilan; peningkatan kualitas dan profesionalisme hakim pada semua lingkungan peradilan; dukungan serta perbaikan sarana dan prasarana pada semua lingkungan peradilan sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap citra lembaga peradilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan.
10. Peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi
terus ditingkatkan dengan lebih memberikan akses terhadap segala informasi yang
dibutuhkan oleh masyarakat, dan akses kepada masyarakat terhadap pelibatan dalam
berbagai proses pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan nasional sehingga
setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai
warga negara. Akibatnya, akan terbentuk perilaku warga negara Indonesia yang
mempunyai rasa memiliki dan taat hukum. Peningkatan perwujudan masyarakat yang
mempunyai kesadaran hukum yang tinggi harus didukung oleh pelayanan dan
bantuan hukum dengan biaya yang terjangkau, proses yang tidak berbelit, dan
penetapan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
11. Penuntasan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan aparatur negara dicapai
dengan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik pada semua tingkat,
lini pemerintahan, dan semua kegiatan; pemberian sanksi yang seberat-beratnya
kepada pelaku penyalahguna kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
peningkatan intensitas dan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui
pengawasan internal, pengawasan fungsional, dan pengawasan masyarakat; serta
peningkatan etika birokrasi dan budaya kerja serta pengetahuan dan pemahaman para
penyelenggara negara terhadap prinsip-prinsip ketatapemerintahan yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar